Contoh Esai Opini! Dampak Perbedaan Politik terhadap Kehidupan Bermasyarakat
Berikut contoh esai opini politik yang dapat anda jadikan referensi berdasarkan fakta kejadian pilpres 2019 yang erat dengan kasus berita bohong (hoaks).
Dampak Perbedaan Politik terhadap Kehidupan Bermasyarakat
oleh Aisyah Nestria
Satu bangsa, berbeda kepala, berjuta pemikiran dan kepentingan adalah ungkapan yang mewakili keragaman rakyat Indonesia. Keragaman tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai, tetapi hal tersebut hanya akan mendatangkan perpecahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia jika tidak terorganisasi, demikian yang pahlawan bangsa Lafran Pane tuangkan dalam gagasan dan visi perjuangan berdirinya himpunan mahasiswa tahun 1947. Figur organisator dan penghimpun keragaman ini menjadi titik tumpu dan harapan bangsa Indonesia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2010, Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku bangsa dan enam agama resmi di dalamnya. Tiap individu melahirkan sudut pandang dan pola pikir politik yang berbeda demi satu komitmen yang sama yaitu Indonesia maju. Celah kesalahan dalam mengambil keputusan akibat hal yang tidak terpikirkan akan tertutup berkat ragam sudut pandang ini.
Masyarakat Indonesia perlu nahkoda hebat yang mampu berlayar dengan kompas rakyat yang dapat mewakili tiap sudut pandang. Tidak ayal isu seputar calon presiden dan wakil presiden RI 2019 lebih gandrung diperbincangkan di kalangan masyarakat dan media dibandingkan dengan figur para calon legislatif. Dengan fakta ratusan ribu tagar 2019 ganti presiden dan 2019 tetap jokowi berulang dibagikan di media sosial.
Persaingan sengit antar kekuatan arus politik dua kubu calon presiden untuk hegemoni parlemen, mendorong pihak tertentu untuk melakukan oposisi verbal sebagai upaya perluasan pengaruh di tingkat bawah. Oposisi verbal dikemas dalam berita opini dan acap kali memuat kebohongan (hoaks).Teknik ini memelintir fakta dan menimbulkan badai informasi sebagai bentuk propaganda pada kontestasi politik.
Berdasarkan pemaparan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP), Kominfo, Niken Wadiastuti dalam IDN Times, penyebaran hoaks sangat tinggi, angkanya mencapai 800 ribu konten per tahun dan semakin masif menjelang perhelatan politik. Dilanjutkan dengan pemaparan Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, pada forum diskusi yang dimuat dalam situs berita Okezone, seluruh hoaks yang berkembang saat ini delapan puluh persen bermuatan politis.
Elite politik tanah air kiranya mulai mengadopsi Firehose of Falsehood yang merupakan teknik propaganda yang digunakan pada pilihan presiden Amerika Serikat dan aneksasi Rusia terhadap Georgia. Penelitian tentang teknik propaganda ini pertama kali dikemukakan oleh Rand Corporation, sebagai model propaganda efektif dalam kontestasi politik.1 Ciri -cirinya adalah hoaks dibagikan secara masif dari berbagai sumber, dilakukan terus menerus, ketiadaan komitmen pada fakta, tidak konsisten, dan mempengaruhi sisi ketakutan manusia (amigdala).
Berdasarkan penelitian Joshua Kalla dan David E. Broockman dalam American Political Science Review (2016) yang dimuat di situs Geotimes, memaparkan bahwa pengaruh informasi kandidat politik dalam media sosial terhadap jumlah suara sebenarnya tidak ada. Keberadaan hoaks hanya akan menurunkan objektifitas pemilih, memunculkan gap antar pendukung, dan mencederai demokrasi. Karena pada dasarnya pembaca hoaks adalah orang-orang yang telah menentukan pilihan sebelumnya.
Tidak timbul benturan fisik pada masyarakat menjelang pemilu bukan berarti masyarakat Indonesia telah matang berpolitik dan dewasa dalam menyikapi perbedaan. Masyarakat masa kini tidak lagi mengandalkan fisik tetapi beralih ke pada kekerasan verbal. Teknik propaganda yang mempengaruhi sisi ketakutan seseorang akan menimbulkan pergulatan emosional yang kemudian ditumpahkan ke ranah digital dalam bentuk kekerasan verbal.
Bermula perang tagar 2019 ganti presiden dan tagar dia sibuk kerja di media sosial. Kampanye beralih dengan kaus bertuliskan hal serupa yang dibawa turun ke car free day Sudirman - Thamrin. Dilansir dari berita Liputan6.com, masa berkaus #DiaSibukKerja mendapat intimidasi ketika melintasi kelompok #2019GantiPresiden. Bahkan, anak laki-laki yang bersama seorang perempuan berkaus #DiaSibukKerja menangis karena dikerumuni masa #2019GantiPresiden. Video aksi perundungan (bullying) berdurasi dua menit 26 detik ini berulang kali.
dibagikan di media sosial. Dan tanggapan beragam diungkapkan para netizen yang kebanyakan menyayangkan aksi tersebut.
Tak berhenti disana, rakyat pendukung dua kubu akan disuguhi demonisasi. Demonisasi merupakan propaganda media dengan teknik rekayasa citra sebagai usaha penciptaan nama buruk. Subjek yang dicitrakan akan dibuat tampak jahat paripurna atau super cacat hingga tidak ada sedikitpun kebaikan di dalamnya. Teknik ini akan menimbulkan fanatisme bagi para pendukung hingga rela mengorbankan persaudaraan sebangsa dan setanah air. Ide genial atau opini pihak oposisi tidak akan berpengaruh karena fanatisme memiliki standar ketat dalam pola pikirnya.
Dimuat dalam situs berita kompasiana Oktober 2016, kasus pengeroyokan terjadi terhadap seorang jurnalis mantan simpatisan oposisi. Hal ini terjadi karena jurnalis melayangkan kritik terhadap presiden yang tengah menjabat. Kasus gagal move on ini seharusnya menjadi tanggung jawab bagi para elite politik.
Selain itu, masyarakat lainnya akan merasa tidak ada kebaikan dari kandidat calon pemimpin. Menurut mereka hak pilih yang mereka gunakan terasa sia-sia atau tidak akan ada pengaruhnya. Memilih calon pemimpin hanya ibarat bubur ayam, pilih diaduk atau tidak diaduk, rasanya sama, kenyangnya juga sama. Sirna sudah euforia rakyat menjelang pesta demokrasi.
Nuansa yang tidak jauh berbeda dirasakan oleh masyarakat yang memiliki nalar kritis. Mereka menilai elite politik terkesan tarik ulur. Terkadang para elite politik berkomitmen saling berpegangan tangan untuk menegakkan demokrasi di sisi lain tindakan mereka terkadang mencerminkan hal yang sebaliknya.
Masyarakat hanya akan dibuat bosan dan hilang kepercayaan terhadap politik. Ibarat orang pernah tenggelam di laut, setiap kali melihat air, ia akan menjadi takut. Masyarakat dengan permasalahan ini memicu bertambahnya angka golput tiap pemilu.
Fakta dilansir oleh lembaga survei Cyrus Network dan CSIS dalam situs berita menunjukkan bahwa angka golput tiap pemilu terus meningkat. Pemilu tahun 1955 mencatat angka golput hanya 8,6 persen. Angka golput naik secara signifikan.
tahun 1999 mencapai 15,9 persen. Dan meningkat sampai pada pemilu tahun 2014, angka golput mencapai 24,8 persen. Di tahun tertentu angka golput menurun namun kenaikan angka golput lebih sering terjadi.
Menolak memilih opsi golput sebagai sikap tidak puas akan sistem demokrasi yang sarat perbedaan yang tiada habisnya. Gerakan revolusioner dan anti demokrasi akan masuk dan menabur benih paham radikal sebagai dalih obat dari penyakit negeri ini. Bukan sembuh malah semakin keruh. Mereka seolah lupa akan sejarah berdirinya bangsa mejemuk ini. Mulai dari sejarah pergolakan masyarakat yang menuntut revisi ideologi bangsa karena tidak universal, kisah pilu orde lama yang digawangi tiga pengaruh besar berujung perpecahan. Gerakan yang gaung menegakkan pemahaman tetapi tidak bepikir jauh ke depan. Mereka ingin mengulang sejarah dan jatuh kembali di lubang kesalahan.
Dampak perbedaan pilihan politik yang menimbulkan gap memaksa masyarakat terseret arus paham anti demokrasi karena membawa segenap rasa ketidakpuasan. Salah satu contoh gerakan anti demokrasi adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang telah dibubarkan pemerintah bulan Juli 2018 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembubaran Organisasi Masyarakat (Ormas).
Pilihan politik bisa berbeda karena latar belakang masyarakat Indonesia memang beragam. Namun dampaknya akan lain jika perbedaan pilihan politik berubah menjadi kurang objektif dan timbul gap antar pendukung karena badai hoaks yang membutakan publik. Oleh sebab itu, dampak perbedaan pilihan politik dalam kehidupan masyarakat tidak dapat diremehkan karena dapat menimbulkan pergulatan emosional yang berujung perundungan baik verbal atau fisik, fanatisme buta yang mencederai demokrasi, sikap apatis yang membuat angka golput pada tiap pemilu meningkat, dan celah bagi gerakan revolusioner anti demokrasi menyebarkan paham radikal terhadap masyarakat yang tidak puas dengan sistem demokrasi.
Baca juga: Contoh Pidato Bahasa Arab Anak MI! Pendidikan Madrasah Mewujudkan Islam yang Damai
Itulah contoh esai opini yang dapat anda jadikan referensi kepenulisan.